Oleh: Achmad Ma’ruf Fahami (PGMI Unisla Paciran)
Pada zaman dahulu kala di sebuah sudut di pulau Jawa terdapat sebuah desa yang dulunya bernama desa Jalak dan desa Sangan. Dulunya penduduk desa tersebut saling gotong royong. Suatu ketika datanglah seorang santri yang berasal dari kota Solo. Dia datang ke desa tersebut dengan maksud dan tujuan untuk syiar agama Islam. Akan tetapi, penduduk sekitar memandang kedatangan santri tersebut adalah ada maksud lain.
Pada suatu ketika penduduk desa tersebut kehilangan harta bendanya, karena saking bencinya masyarakat desa tersebut kepada santri tadi, penduduk pun langsung menuding santri tersebut adalah pencurinya tanpa disertai dengan barang bukti.
Di pihak lain, yaitu santri tersebut masih belum tahu akan berita tersebut dan masih sibuk dengan karyanya yaitu membuat ukiran batu yang menyerupai hewan kura-kura dan masjid untuk tempat ibadah. Tanpa disadarinya penduduk desa Sangan dan Jalak telah sampai di tempat santri tersebut.
Terjadilah perang mulut antara keduanya. Karena saking terpojoknya santri tersebut, dia pun mengalah dan berkata, “Jika saya sudah meninggal tolong desa ini dinamai SELOKURO atau SOLOKURO”. Ujar santri tersebut.
Selokuro adalah batu yang ia ukir dengan penuh kasih sayang yang berbentuk seperti kura-kura. sedangkan solokuro, “SOLO” adalah asal dari santri tersebut dan “KURO” adalah binatang kesayangannya yaitu kura-kura. Dan santri tersebut berpesan kalau ingin membunuh dia cukup hanya dengan dipasung.
Setelah kematian santri tersebut, bingkisan barang yang dikira barang curian itu pun dibuka. Alangkah terkejutnya penduduk tersebut dengan isi bingkisan tersebut, ternyata isi dari bingkisan tersebut adalah Al-Qur’an dan peralatan untuk sholat santri tersebut. Karena santri tersebut sudah meninggal penduduk pun memenuhi permintaan santri tersebut dan memilih nama “SOLOKURO” untuk menjadi nama desa tersebut.