Oleh: Nur Shoimah Amaliyah
Mahasiswa UNISLA II Paciran
Desa Sedayu, sebuah desa kecil yang menyimpan sejarah kejayaan pesisir Lamongan di masa lalu. Pada masa kerajaan Singasari dan Majapahit, Pelabuhan Sedayu adalah jalur ekspedisi penting di Nusantara.
Nama Sedayu berasal dari kata “si-dayuh” yang berarti “tempat istirahat orang asing”. Karena pada masa itu tempat ini adalah Pelabuhan besar, dan pada saat itu wilayah kecamatan Brondong dan Paciran barat masuk kadipaten Tuban, Sementara Paciran timur masuk kadipaten Gresik.
Pada masa itu ada seorang pemuda yang perahunya mengalami masalah dan terdampar di wilayah Sedayu, pemuda itu bernama Abdul Khohar dari Baghdad (Irak) yang merantau ke tanah Jawa.
Abdul Khohar dikenal kehebatannya dan sangat pandai berinteraksi dengan masyarakat sekitar, dan akhirnya menikah dengan Dewi Sukarsih anak dari Tumenggung Joyo Sasmitro penguasa Sedayu. Abdul Khohar dengan Dewi Sukarsih dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak itu tidak lain adalah Raden Nur Rahmat (Sendang Duwur), Oleh ayahnya Nur Rahmat dididik secara Islami dan ilmu kedigjayaan sehingga mewarisi kecakapan dan kehebatan ayahnya.
Pada suatu hari terjadilah peperangan hebat antara kerajaan Sedayu dengan kerajaan Ronggolawe Tuban, Saat itu lah ayah dari Raden Nur Rahmat wafat, Kemudian Dewi Sukarsih membawa Raden Nur Rahmat hijrah ke Bukit Tanon yang berada di wilayah desa Sendang, di lokasi barunya Dewi Sukarsih mengajari anaknya ilmu bercocok tanam, hingga akhirnya Raden Nur Rahmat dikenal mahir menguasai ilmu bercocok tanam. Setelah dirasa mumpuni, Dewi Sukarsih meninggalkan anaknya dan kembali ke Sedayu.
Dewi Sukarsih kembali ke Sedayu Pradu Tresno tepatnya berada di timurnya gunung Menjuluk, di situlah Dewi Sukarsih tinggal saat ini. Wilayah yang ditempati Dewi Sukarsih memang belum ada penduduknya sama sekali, kebanyakan masih perhutanan dan persawahan, di tempat tersebut Dewi Sukarsih bercocok tanam seperti menanam sayur-sayuran, palawija, jagung buah-buahan untuk dimakan, selain itu Dewi Sukarsih membuat sebuah sumur untuk kebutuhan kesehariannya, sumur tersebut dinamai sumur jumprit.
Anehnya air dari sumur tersebut mempunyai khasiat yang luar biasa, misalnya seperti tanaman yang mati setelah disiram dengan air sumur tersebut bisa hidup dan subur kembali. Bahkan orang yang meminum air dari sumur jumprit tersebut bisa kebal dan sakti.
Seiring berjalannya waktu tempat tersebut ramai didatangi masyarakat dari penjuru desa yang ingin meminum air sumur jumprit tersebut, yang awalnya tidak sakti menjadi sakti mandraguna bahkan mengakibatkan sombong dan adu kesaktian satu sama lain sehingga terjadi peperangan besar. Di sinilah Raden Nur Rahmat mendengar kesombongan mereka, kemudian Raden Nur Rahmat kembali ke Sedayu.
Setelah kejadian tersebut, Raden Nur Rahmat menutup sumur jumprit tersebut dengan batu gilang yang sangat besar. Raden Nur Rahmat berpesan “siapa saja yang ingin membuka sumur tersebut, haruslah orang yang selalu ngabekti lan iling marang Allah swt, dan jika kelak di sini menjadi sebuah desa berilah nama Betiling yaitu ngabekti lan iling marang Allah swt serta meraka akan selamat dunia akhirat”.
Seiring berjalannya waktu banyak warga yang tinggal di tempat tersebut yang akhirnya menjadi sebuah dusun dan diberi nama Betiling “ngabekti lan iling” dan dikarenakan tempat tersebut memiliki dataran yang miring warga sekitar juga menamainya dengan dusun “Betiring” Namanya diambil dari kata “beti” yang berarti air dan “ring” yang berati miring, maka sampai sekarang di sebutlah dusun Betiring.