Oleh: Lailatus Syarifah
Mahasiswa UNISLA II Paciran
Sering nggak sih dengar kalau orang Lamongan pantang makan lele? Padahal banyak lho perantau Lamongan yang berjualan pecel lele, namun konon mereka pantang memakannya. Lalu bagaimana sejarah yang terdapat di balik kepercayaan itu? Pasti ada asal muasal lahirnya pantangan bagi masyarakat asli Lamongan untuk memakan ikan lele. Apakah semua warga Lamongan asli pantang memakannya ataukah hanya sebagian kecil masyarakat saja? Jika iya, di mana tepatnya desa yang dimaksud? Mari simak sejarah di balik pantangan makan ikan lele.
Menurut Ranggawarsita (pujangga Jawa di Kasunanan Surakarta), serta beberapa sumber lain seperti cerita para sesepuh desa, didapatkan sejarah asal muasal pantangan makan ikan lele bagi masyarakat Lamongan. Cerita ini berawal ketika Sunan Giri III yang bernama Sedamargo melakukan penyebaran agama Islam ke desa-desa menelusuri sepanjang aliran Bengawan Solo bersama dengan muridnya.
Sesampainya di Desa Barang (sekarang masuk wilayah Kecamatan Karangbinangun), malam sudah larut namun Sunan Giri masih terus menyusuri desa ini. Hingga tiba pada suatu tempat, Sunan Giri melihat adanya cahaya lampu yang cukup terang menyala dari sebuah gubuk di sudut desa. Sunan Giri pun menghampiri sumber cahaya tersebut.
Di situ didapatilah seorang wanita yang akrab dikenal dengan sebutan Mbok Rondo, sedang menjahit pakaian. Mereka pun bersapaan dan berbincang hingga tidak terasa malam semakin larut. Di akhir perbincangan, akhirnya Sunan Giri berpamitan untuk melanjutkan perjalanan lagi. Pada waktu subuh tibalah di Desa Sendang, Kecamatan Paciran dan melakukan sholat disana. Beliau baru sadar bahwa keris yang ia bawa tidak ada dan teringat jika keris miliknya ternyata masih di bale (ruang tamu) rumah Mbok Rondo. Karena saking asyiknya selama berbincang dengan Mbok Rondo tadi.
Kemudian Sunan Giri memerintahkan salah satu murid yang ikut dengannya yaitu Ki Bayapati, untuk kembali ke Desa Barang dan mengambil keris kesayanggan Sunan Giri tersebut. “Tadi malam saat singgah di rumah Mbok Rondo, keris ku tertinggal. Tolong kau ambilkan keris yang tertinggal itu di sana.” Pesan Sunan Giri III pada Ki Bayapati.
Sebenarnya keris milik Sunan Giri III itu sudah disimpan Mbok Rondo dengan baik. Mbok Rondo berpikir akan mengembalikannya suatu saat nanti. Atau Mbok Rondo menunggu saja, kemungkinan Sunan Giri III akan kembali untuk mengambilnya sendiri.
Sementara itu, di tempat lain, Ki bayapati setelah diperintah oleh Sedamargo langsung menuju ke Desa Barang. Ki Bayapati terkenal dengan keilmuannya yang cukup tinggi, bisa berubah menjadi hewan atau lain-lainnya. Di perjalanan ke rumah Mbok Rondo. Ia menyusun rencana, akan menggunakan ilmunya yang salah satunya adalah ilmu sirep. Ilmu sirep adalah kemampuan seseorang yang bisa membuat orang lain tertidur pulas.
Sesampainya di tempat Mbok Rondo, Ki Bayapati menjalankan rencananya. Benar saja, usai melepas ilmu sirepnya, banyak orang yang langsung tertidur pulas. Ki bayapati langsung bergegas mengambil keris milik Sunan Giri III yang di simpan oleh Mbok Rondo. Tapi, ternyata Mbok Rondo tidak tertidur pulas. Dengan setengah tersadar, Ia melihat Ki Bayapati mengambil keris Sunan Giri III. Mbok Rondo pun kaget, Ia mengira jika Ki Bayapati adalah seorang maling.
Dengan
sekuat tenaga Mbok Rondo lantas berteriak, “Maling,,,maling,,,ada
maling!!!”. Sayup-sayup warga mendengar teriakan Mbok Rondo. Sebetulnya
banyak warga yang masih mengantuk akibat ilmu sirep Ki Bayapati. Namun
saat mendengar teriakan dari rumah Mbok Rondo yang makin lama semakin
keras, para warga lantas lari berdatangan menuju rumah Mbok Rondo.
Karena disangka maling, Ki Bayapati pun lari kemudian dikejar oleh warga Desa Barang. Ia terlalu panik hingga berlari kencang tidak tahu arah, agar tidak tertangkap warga desa. Saat melarikan diri, Ki Bayapati sampai di sebuah jublang (kolam) besar. Yang terletak di Desa Medang, Kecamatan Glagah. Ki Bayapati berpikir untuk terjun ke jublang tersebut, tetapi ragu karena kolam itu penuh dengan ikan lele.
Warga desa yang mengejar Ki Bayapati makin mendekat. Karena terdesak, Ki Bayapati pun akhirnya berdoa kepada Allah dengan tekad memutuskan terjun ke dalam jublang. Ia memilih bersembunyi di sana dari kejaran warga desa. Tanpa disangka, tiba-tiba kolam tersebut dipenuhi ikan lele yang berenang di permukaan kolam. Keberadaan Ki Bayapati tersembunyikan oleh munculnya ikan-ikan lele tersebut.
Warga yang mengejar sudah sampai dekat kolam ikan dan tidak menemukan Ki Bayapati. Sempat salah satu warga curiga bahwa Ki Bayapati masuk ke dalam jublang. Karena ikan lele sangatlah berbahaya, patil yang dimiliki ikan lele bisa melukai seseorang, warga pun menganggap bahwa Ki Bayapati meninggal karena tak terlihat lagi, padahal masih hidup. Karena berjasa menyelamatkan hidupnya, Ki Bayapati bersumpah jika dia dan semua keturunannya tidak akan memakan ikan lele.
Ki Bayapati akhirnya meninggalkan lokasi kolam tersebut dan kembali ke Giri. Ki Bayapati lantas menceritakan kejadian aneh tersebut sambil mengembalikan keris kepada Sunan Giri III. Karena jasanya, akhirnya Sudarmago menghadiakan kerisnya kepada Ki Bayapati, yang sekarang disebut dengan Koro Welang. Lalu Ki Bayapati mendapat gelar dari Sudamargo dengan nama ‘Sayyid abd. Shomad’.
Setelah pengabdiannya yang begitu lama kepada Sedamargo, Ki Bayapati meminta izin kepada gurunya untuk kembali ke Lamongan untuk membabad desa dan mengajarkan agama Islam serta mendirikan desa-desa. Desa yang pertama dibabad adalah Desa Medang, tempat dimana dia diselamatkan oleh ikan lele. Ki Bayapati juga dimakamkan di tempat tersebut dan dimuliakan oleh masyarakat setempat.
Itulah kisah-kisah di balik adanya pantangan bagi warga Lamongan untuk memakan ikan lele. Kisah tersebut adalah kisah yang turun-temurun dari mulut ke mulut. Kisah tersebut bisa menjadi salah satu keunikan atau kekayaan yang dimiliki oleh warga Lamongan.