Afiqul Adib | Anak Kos
Sampah adalah musuh masyarakat, dan hal tersebut perlu diakui. Apalagi sampah plastik atau yang berbau plastik (tolong jangan dikaitkan dengan korea).
Sampah plastik dianggap musuh masyarakat karena tidak bisa terurai secara alami. Sehingga banyak pecinta lingkungan yang memperjuangkan pelarangan sampah plastik. Mereka geram karena bumi dipenuhi dengan plastik. Bahkan ada suatu kejadian di mana seekor paus mati, dan ditemukan puluhan ton sampah di perutnya.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, pemerintah pun ahirnya membuat kebijakan pembatasan pemakaian sampah plastik. Kebijakan ini bisa dilihat ketika berbelanja di Minimarket atau Supermarket. Seperti yang saya temui di Bravo Supermarket daerah Tuban Jawa Timur. Ketika selesai belanja maka akan ditawari sejenis tas atau kardus sebagai pembungkus belanjaan. Tentunya pembungkus tersebut berbayar, dan sangat mengganggu batin saya.
Bagi saya, pembatasan pemakain plastik adalah kebijakan yang bagus, dalam arti niatnya memang baik. Namun tidak tepat sasaran. Kenapa bisa seperti itu? Oke, jadi gini:
1. Permintaan masyarakat pada plastik itu tinggi, artinya belum ada produk yang menggantikan plastik. Kalau dilakukan pembatasan maka masyarakat harus membiasakan menggunakan kardus atau bahan lain selain plastik yang biayanya agak mahal dari plastik.
Memulai pembiasaan baru itu sulit dan perlu waktu.
2. Plastik belum bisa digantikan sepenuhnya. Ada beberapa kegunaan plastik yang belum bisa digantikan, seperti fungsi water proof. Yaelah, masak sih jas hujan memakai kertas. Kan sama aja bohong. Belum lagi ketika pandemi. Perlengkapan APD sangat dibutuhkan, seperti masker, handsanitizer (wadahnya), face shild, dan sebagainya, yang mana kebanyakan menggunakan bahan dasar plastik. Itu belum produk sehari-hari seperti bungkus sabun cuci, odol, sampo, dan sebagainya. Produk plastik digunakan memang karena kepraktisan fungsinya.
3. Plastik tidak punya kaki. Ketika ditemukan plastik di perut paus, atau di dasar lautan, saya rasa bukan salah plastiknya, tapi prilaku manusianya. Karena itu yang harus diperbaiki ya manusianya, bukan plastiknya.
Jika plastik tidak boleh dibuang dengan sembarangan karena tidak bisa terurai secara alami, memangnya kalau bisa terurai maka boleh dibuang sembarangan gitu?
4. Percuma pembatasan penggunaan sampah plastik atau bahkan buang sampah pada tempatnya jika pengelolaan sampah masih sempoyongan.
Seharusnya yang dilakukan bukan pengurangan produksi plastik, melainkan perbaikan pelaksanaan manajemen sampahnya. Iya benar, pelaksanaanya saja. karena peraturannya sudah ada.
Silahkan di cek Undang-Undang no. 18 tahun 2008. Di sana sudah diatur dengan jelas dan rinci tentang manajemen sampah plastik. Seperti di pasal 13 yang menjelaskan bahwa pengelola kawasan pemukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah.
Ada juga kebijakan pemilahan sampah seperti keharusan pencantuman kode plastik pada kemasan untuk memudahkan pemilahan sampah diatur di pasal 14.
FYI saja, dalam kemasan plastik itu tertera nomor, mulai 1 sampai 6. Nah, nomer tersebut menunjukkan kode plastik yang bisa didaur ulang. Kemudian kode 7 adalah yang tidak bisa didaur ulang. Namun sekarang ada teknologi yang bisa mendaur ulang sampah kode 7. Artinya, di jaman sekarang semua sampah plastik bisa didaur ulang. Namun karena teknologi masih belum menyeluruh, kita bisa menyebut kode 7 adalah sampah yang sulit didaur ulang.
Lalu bagaimana solusinya?
Pertama adalah sosialisasi. Banyak yang belum tahu tentang hal dasar dalam plastik, misal kode sampah yang saya jelaskan di atas tadi. Ada juga yang belum bisa membedakan Styrofoam dan PS Foam. Ini penting, karena kedua benda tersebut berbeda. Styrofoam untuk pembungkus benda seperti televisi dan sebagainya. Sedangkan PS Foam untuk makanan.
Pengenalan plastik juga diperlukan agar masyarakat lebih peduli tentang dunia perplastikan. Karena bagaimana mau peduli jika tahu saja tidak.
Kedua, sosialisasi dalam hal penjualan sampah plastik. Hah sampah plastik bisa dijual? Pastinya banyak yang tidak tahu kalau sampah plastik ternyata bisa dijual.
Faktanya, industri plastik malah kesulitan mencari pengepul sampah plastik untuk dijadikan bahan campuran produksi. Jadi sebenarnya industri plastik juga mencari plastik yang berserakan untuk diolah menjadi campuran bahan pembuatan plastik.
Karena keterbatasan pengepul sampah plastik, jadi jangan kaget kalau ada berita tentang impor sampah plastik. Ya kan industri juga butuh bahan secara instan dan murah. Jadi bukan sepenuhnya salah industri plastik jika memang harus impor sampah.
Kalau kita mau mengumpulkan sampah plastik, sepertinya di ahir bulan tetep bisa makan enak deh (khususnya anak kos). Ya gimana, kalau kita menjual sampah plastik ke produsen plastik, untuk PS Foam itu sekilonya dihargai 7 ribu Rupiah. Itu PS Foam, belum plastik lainnya.
Jika memang males ngirim sampah plastik ke tempat industri, maka bisa kok dijual secara online. Kalian bisa buka Playstore dan search jual sampah online, pasti bermunculan banyak aplikasi jual sampah secara online.
Saran saya, baca baik-baik deskripsi, karena di sana dicantumkan lokasi penjualnya. Jadi pilih yang sesuai atau berdekatan dengan kota anda.
Setelah semua itu disosialisasikan, langkah selanjutnya adalah penerapan berkala.
Karena pengelolaan lebih penting dari pembatasan sampah plastik atau sekedar membuang sampah pada tempatnya. Sama saja dong kita buang plastik ke tempat sampah tapi pada ahirnya sampah tersebut dibakar dan mencemari udara. Atau bahkan dibiarkan menggunung sampai menyerupai pegunungan sampah.
Jadi kebijakan membuang sampah pada tempatnya, atau bahkan pengurangan pemakaian sampah adalah kebijakan yang kurang bijak. Karena masalah utamanya bukan itu. Ibarat ketika hujan, dan rumah kita bocor, kemudian yang kita lakukan adalah mengepel lantai. Bukan menambal atap yang bocor.
*diolah dari konten youtube Geolive tentang bincang nalar bersama Wahyudi Sulistya (pelaku industri plastik).