Perilaku Mentoleransi Money Politics - Kabar Paciran
Baca artikel dan tutorial Android dan informasi gadget terbaik

Gambar dari Liputan6.com

Penulis : Idhar. S.Psi
Direktur Pusdek (Pusat Studi Demokrasi Ekonomi dan Keadilan Sosial)

Boleh saja partai ribuan jumlahnya
Tapi yang menang yang punya uang
Seorang cepek ceng sudah bisa jadi presiden
Begitulah cerita yang berkembang

Gontok gontokan sudah nggak musim
Adu doku ini yang ditunggu tunggu
Pemilu tempat berpestanya uang palsu
Habis kalau nggak gitu nggak lucu

Begitulah bunyi sepenggal bait lagu Iwan Fals yang berjudul “politik uang”, sepertinya mampu menggambarkan dengan baik situasi politik hari-hari ini sampai menjelang pemilu 17 April mendatang, perilaku money politics kembali menjadi perbincangan publik setelah tertangkap tangannya seorang anggota DPR RI oleh KPK, dengan barang bukti uang delapan milyar rupiah dalam bentuk pecahan uang dua puluh ribuan dan lima puluh ribuan yang sudah dibungkus dalam empat ratus ribu amplop dipersiapkan sebagai amunisi untuk melakukan serangan fajar - untuk mengisi amplopnya dengan uang membutuhkan waktu sebulan sendiri.

Perilaku money politics dengan memberikan uang pada saat menjelang hari coblosan dipercaya banyak politisi mampu meningkatkan elektabilitas calon anggota DPR/DPRD, meskipun tidak semua politisi melakukan money politics tetapi sepertinya perilaku money politics sudah jamak dilakukan oleh para politisi terutama pada saat-saat menjelang hari pemilihan. Fenomena money politics merupakan fenomena ”puncak gunung es” dimana yang mampu ditangkap atau diungkap ke publik hanya segelintir orang saja - hal ini terekam dalam survey yang dilakukan oleh lembaga survey Indikator pada tahun 2013 yang mengambil sampling di 39 Dapil (daerah pemilihan), dimana setiap dapil diambil 400 responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa 41,5 persen masyarakat Indonesia menilai bahwa perilaku money politics sebagai hal yang wajar, sementara 57,9 persen tidak bisa menerima perilaku money politics, sedangkan 0,5 persen tidak menjawab.

Temuan atas gejala money politics juga terekam dalam studi yang dilakukan oleh KPU Bandung Barat pada tahun 2014, yang menemukan bahwa 39 persen responden menjawab pernah menerima uang atau barang yang diberikan oleh Kandidat maupun tim suksesnya pada Pemilu Legislatif Tahun 2014. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah gejala money politics akan terulang pada pemilihan tahun 2019.? Jawaban dari pertanyaan ini kita bisa temukan dalam survey yang dilakukan oleh lembaga survey Charta Politika yang melakukan survey pada Bulan Januari tahun 2019 dengan mengambil sampling sebanyak 800 responden pada setiap Dapil DKI, hasilnya menunjukkan bahwa Pada Dapil 1 DKI menunjukkan bahwa 58,2 persen masyarakat menilai politik uang (money politics)/pemberian hadiah dapat dimaklumi, sementara 31,3 persen tidak dapat dimaklumi, sedangkan 10,5 persen menjawab tidak tahu, kondisi yang hampir sama juga terjadi pada Dapil DKI 2 dan Dapil DKI 3.

Hasil survey Charta Politika sedikit banyak telah memberi jawaban bahwa perilaku money politics akan terulang kembali pada pemilu 2019, kondisi ini semakin mengkhawatirkan bagi pembangunan kualitas demokrasi di Indonesia, karena hanya kandidat yang memiliki modal besar yang sanggup untuk melenggang ke kursi DPR/DPRD, dan tentu dampaknya bagi bangsa ini yakni semakin defisit politisi yang berkualitas atau dengan sistem politik pasar bebas ini akan semakin sulit untuk mendapatkan politisi yang berintegritas dan menyuarakan kepentingan rakyat. Pada kandidat dengan modal besar ketika terpilih hal pertama yang dipikirkan tentu saja yakni mengembalikan modal yang telah dikeluarkan semasa kampanye, dan tentu kepentingan rakyat akan dinomorduakan.

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya yakni mengapa masyarakat mentoleransi perilaku money politics.? Untuk mencari jawaban terbaik dari fenomena ini yakni dengan melihat hasil survey karena dengan melihat hasil survey kita akan disuguhkan jawaban yang lebih empiris - mengapa masyarakat semakin toleran terhadap perilaku money politics. Pertama faktor tingkat pendidikan masyarakat, hasil survey yang dilakukan lembaga survey Indikator pada tahun 2013 memberi jawaban bahwa pemilih yang toleran terhadap perilaku money politics yakni masyarakat yang berasal dari golongan tingkat pendidikan rendah - orang yang yang belum tamat atau hanya menamatkan jenjang pendidikan tingkat SD, pada golongan tingkat pendidikan rendah ini rentan terhadap politik uang karena keterbatasan akses terhadap informasi politik dan rendahnya tingkat sosialisasi politik yang diterima. Kedua yakni faktor penghasilan atau pendapatan masyarakat. Orang yang dengan penghasilan pas-pasan cenderung untuk mentoleransi adanya perilaku praktik politik uang, termasuk golongan masyarakat penghasilan rendah yakni orang dengan tingkat pendapatan dibawah Rp. 1.000.000., pada masyarakat golongan ekonomi lemah selain toleran terhadap perilaku money politics juga rentan untuk menukar suaranya dengan imbalan sejumlah uang untuk memiliki calon tertentu karena keterbatasan aset yang ada pada dirinya.

Ketiga, yakni faktor kedekatan dengan partai (party ID), orang yang secara psikologis memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu, cenderung resisten terhadap perilaku money politics sementara orang yang secara psikologis tidak memiliki kedekatan terhadap partai (partai ID) cenderung untuk mentoleransi praktek money politics. Kondisi ini menggambarkan bahwa praktik subur politik uang di Indonesia, salah satunya karena memang partai politik telah lama absen untuk mendekati masyarakat dan hanya datang pada saat menjelang hari coblosan sehingga tingkat kedekatan partai dengan masyarakat sangat rendah. Karena partai dan politisinya hanya datang pada saat menjelang hari pencoblosan maka hubungan yang terbangun yakni hubungan politik yang transaksional melalui praktek politik uang.

Perilaku masyarakat yang mentoleransi money politics pada akhirnya terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan dan penghasilan masyarakat serta rendahnya tingkat kedekatan dengan partai (Partai ID), kondisi inilah yang menumbuh suburkan politik uang di Indonesia, kondisi ini juga menunjukkan bahwa praktik subur politik uang tidak hanya pada sisi masyarakat, tetapi partai politik juga turut serta menyuburkan praktik money politics.

Lamongan, 4 April 2019


Perilaku Mentoleransi Money Politics


Gambar dari Liputan6.com

Penulis : Idhar. S.Psi
Direktur Pusdek (Pusat Studi Demokrasi Ekonomi dan Keadilan Sosial)

Boleh saja partai ribuan jumlahnya
Tapi yang menang yang punya uang
Seorang cepek ceng sudah bisa jadi presiden
Begitulah cerita yang berkembang

Gontok gontokan sudah nggak musim
Adu doku ini yang ditunggu tunggu
Pemilu tempat berpestanya uang palsu
Habis kalau nggak gitu nggak lucu

Begitulah bunyi sepenggal bait lagu Iwan Fals yang berjudul “politik uang”, sepertinya mampu menggambarkan dengan baik situasi politik hari-hari ini sampai menjelang pemilu 17 April mendatang, perilaku money politics kembali menjadi perbincangan publik setelah tertangkap tangannya seorang anggota DPR RI oleh KPK, dengan barang bukti uang delapan milyar rupiah dalam bentuk pecahan uang dua puluh ribuan dan lima puluh ribuan yang sudah dibungkus dalam empat ratus ribu amplop dipersiapkan sebagai amunisi untuk melakukan serangan fajar - untuk mengisi amplopnya dengan uang membutuhkan waktu sebulan sendiri.

Perilaku money politics dengan memberikan uang pada saat menjelang hari coblosan dipercaya banyak politisi mampu meningkatkan elektabilitas calon anggota DPR/DPRD, meskipun tidak semua politisi melakukan money politics tetapi sepertinya perilaku money politics sudah jamak dilakukan oleh para politisi terutama pada saat-saat menjelang hari pemilihan. Fenomena money politics merupakan fenomena ”puncak gunung es” dimana yang mampu ditangkap atau diungkap ke publik hanya segelintir orang saja - hal ini terekam dalam survey yang dilakukan oleh lembaga survey Indikator pada tahun 2013 yang mengambil sampling di 39 Dapil (daerah pemilihan), dimana setiap dapil diambil 400 responden, hasil penelitian menunjukkan bahwa 41,5 persen masyarakat Indonesia menilai bahwa perilaku money politics sebagai hal yang wajar, sementara 57,9 persen tidak bisa menerima perilaku money politics, sedangkan 0,5 persen tidak menjawab.

Temuan atas gejala money politics juga terekam dalam studi yang dilakukan oleh KPU Bandung Barat pada tahun 2014, yang menemukan bahwa 39 persen responden menjawab pernah menerima uang atau barang yang diberikan oleh Kandidat maupun tim suksesnya pada Pemilu Legislatif Tahun 2014. Lalu yang menjadi pertanyaan apakah gejala money politics akan terulang pada pemilihan tahun 2019.? Jawaban dari pertanyaan ini kita bisa temukan dalam survey yang dilakukan oleh lembaga survey Charta Politika yang melakukan survey pada Bulan Januari tahun 2019 dengan mengambil sampling sebanyak 800 responden pada setiap Dapil DKI, hasilnya menunjukkan bahwa Pada Dapil 1 DKI menunjukkan bahwa 58,2 persen masyarakat menilai politik uang (money politics)/pemberian hadiah dapat dimaklumi, sementara 31,3 persen tidak dapat dimaklumi, sedangkan 10,5 persen menjawab tidak tahu, kondisi yang hampir sama juga terjadi pada Dapil DKI 2 dan Dapil DKI 3.

Hasil survey Charta Politika sedikit banyak telah memberi jawaban bahwa perilaku money politics akan terulang kembali pada pemilu 2019, kondisi ini semakin mengkhawatirkan bagi pembangunan kualitas demokrasi di Indonesia, karena hanya kandidat yang memiliki modal besar yang sanggup untuk melenggang ke kursi DPR/DPRD, dan tentu dampaknya bagi bangsa ini yakni semakin defisit politisi yang berkualitas atau dengan sistem politik pasar bebas ini akan semakin sulit untuk mendapatkan politisi yang berintegritas dan menyuarakan kepentingan rakyat. Pada kandidat dengan modal besar ketika terpilih hal pertama yang dipikirkan tentu saja yakni mengembalikan modal yang telah dikeluarkan semasa kampanye, dan tentu kepentingan rakyat akan dinomorduakan.

Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya yakni mengapa masyarakat mentoleransi perilaku money politics.? Untuk mencari jawaban terbaik dari fenomena ini yakni dengan melihat hasil survey karena dengan melihat hasil survey kita akan disuguhkan jawaban yang lebih empiris - mengapa masyarakat semakin toleran terhadap perilaku money politics. Pertama faktor tingkat pendidikan masyarakat, hasil survey yang dilakukan lembaga survey Indikator pada tahun 2013 memberi jawaban bahwa pemilih yang toleran terhadap perilaku money politics yakni masyarakat yang berasal dari golongan tingkat pendidikan rendah - orang yang yang belum tamat atau hanya menamatkan jenjang pendidikan tingkat SD, pada golongan tingkat pendidikan rendah ini rentan terhadap politik uang karena keterbatasan akses terhadap informasi politik dan rendahnya tingkat sosialisasi politik yang diterima. Kedua yakni faktor penghasilan atau pendapatan masyarakat. Orang yang dengan penghasilan pas-pasan cenderung untuk mentoleransi adanya perilaku praktik politik uang, termasuk golongan masyarakat penghasilan rendah yakni orang dengan tingkat pendapatan dibawah Rp. 1.000.000., pada masyarakat golongan ekonomi lemah selain toleran terhadap perilaku money politics juga rentan untuk menukar suaranya dengan imbalan sejumlah uang untuk memiliki calon tertentu karena keterbatasan aset yang ada pada dirinya.

Ketiga, yakni faktor kedekatan dengan partai (party ID), orang yang secara psikologis memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu, cenderung resisten terhadap perilaku money politics sementara orang yang secara psikologis tidak memiliki kedekatan terhadap partai (partai ID) cenderung untuk mentoleransi praktek money politics. Kondisi ini menggambarkan bahwa praktik subur politik uang di Indonesia, salah satunya karena memang partai politik telah lama absen untuk mendekati masyarakat dan hanya datang pada saat menjelang hari coblosan sehingga tingkat kedekatan partai dengan masyarakat sangat rendah. Karena partai dan politisinya hanya datang pada saat menjelang hari pencoblosan maka hubungan yang terbangun yakni hubungan politik yang transaksional melalui praktek politik uang.

Perilaku masyarakat yang mentoleransi money politics pada akhirnya terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan dan penghasilan masyarakat serta rendahnya tingkat kedekatan dengan partai (Partai ID), kondisi inilah yang menumbuh suburkan politik uang di Indonesia, kondisi ini juga menunjukkan bahwa praktik subur politik uang tidak hanya pada sisi masyarakat, tetapi partai politik juga turut serta menyuburkan praktik money politics.

Lamongan, 4 April 2019


Load Comments

Subscribe Our Newsletter