Penulis : M Hilmi Faiq.
Menonton pentas ketoprak dor di Medan, Sumatera Utara, kita menyaksikan daya hidup rakyat. Kehidupan yang keras disikapi dengan kesenian. Keberagaman budaya di tanah Deli diakomodasikan dalam seni pertunjukan. Melayu, Tionghoa, India, dan Jawa melebur dalam ketoprak dor.
Menonton pentas ketoprak dor di Medan, Sumatera Utara, kita menyaksikan daya hidup rakyat. Kehidupan yang keras disikapi dengan kesenian. Keberagaman budaya di tanah Deli diakomodasikan dalam seni pertunjukan. Melayu, Tionghoa, India, dan Jawa melebur dalam ketoprak dor.
Sekitar 500 warga berkumpul di perempatan Jalan Kawat V, Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli, Medan, Sabtu malam, awal November lalu. Sebelum maghrib, warga telah berkumpul meskipun pergelaran ketoprak dor baru dimulai selepas isya atau sekitar pukul 20.00. Anak-anak hingga orang tua usia 60-an tahun tumpah ruah.
”Sudah lama saya tidak menonton ketoprak dor. Jadi, malam ini harus menonton,” kata Ramli (52) yang mengajak dua cucunya.
Malam itu, 36 pemain ketoprak manggung selama hampir tujuh jam dengan lakon Joko Purnomo Kembar. Lakon bercerita tentang perjuangan dan kesetiaan. Pertunjukan berlangsung sederhana. Meskipun tidak semua pemain hafal dialog, penonton tidak mempermasalahkan hal itu. ”Terus aku ngomong opo, yo. Aku lupa. Aku sebagai apa, sih? Ya, maklum, wong gak ikut latihan,” kata seorang pemain yang disambut tertawa penonton.
Biasanya lakon Joko Purnomo Kembar dimainkan anggota kelompok Ketoprak Dor Langen Mardi Agawe Rukun Santosa (LMARS), Medan. Namun, karena banyak pemain yang sudah lanjut usia, manajemen LMARS mengajak pemain-pemain dari Langen Setyo Budi Lestari pimpinan Jumadi (63) yang bersanggar di Desa Sei Mencirim, Kabupaten Deli Serdang. ”Pemain banyak yang kerja, jadi susah ketemu untuk latihan. Akhirnya ketemu di panggung ini saja,” ujar Suriat (65), sutradara Ketoprak Dor LMARS.
Dampak lain dari kurangnya latihan, beberapa kali pemain naik panggung, padahal belum gilirannya berakting. Layar yang sudah dibuka pun ditutup kembali. Di belakang panggung, mereka cekikikan menertawakan kesalahan itu, sementara penonton menilai itu bagian dari pertunjukan karena ketoprak dor selalu tampil jenaka, baik lewat salah-salah ucap maupun slapstick. Bagian inilah yang selalu ditunggu penonton.
Para pemain ketoprak paham betul hal itu sehingga dalam beberapa adegan, mereka merespons perilaku penonton. Ketika ada penonton yang memotret, misalnya, mereka malah bergaya. ”Ayo foto dulu awak biar masuk tipi,” kata Sunar (67) sambil bergaya.
Lahir dari kesepian
Ketoprak dor muncul seiring banyaknya kuli kontrak perkebunan di tanah Deli yang didatangkan dari Jawa. Pada akhir abad ke-19, ketika Belanda mulai menanam tembakau, mereka membutuhkan buruh yang disebut kuli kontrak. Kuli yang didatangkan dari India dan Tiongkok tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan perkebunan.
Belanda mengusung puluhan ribu buruh perkebunan dari Jawa. Sebagaimana catatan Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad Ke-20 (1997), pada tahun 1902 jumlah tenaga kerja dari Jawa mencapai 34.596 jiwa. Sebelumnya, pada 1875, perusahaan budidaya tembakau Deli Maatschappij sudah mulai mendatangkan buruh dari Bagelen, Jawa Tengah. Kuli dari Jawa terus dikirim hingga mencapai 7.000 orang per tahun. Belanda senang dengan kuli Jawa karena rajin dan cenderung patuh.
Kuli Jawa pun agak senang lantaran diizinkan membawa serta keluarga dari kampung halaman dan disediakan sebidang tanah untuk tempat tinggal. Meski demikian, kadang mereka jengkel dengan berbagai aturan yang memberatkan kuli. Mereka juga kesepian karena sama sekali tidak ada hiburan seperti di kampung halaman. Itu yang antara lain membuat para kuli gampang marah.
”Kesepian dan kerinduan terhadap kampung halaman itu yang kemudian menjadi bibit munculnya ketoprak dor. Mereka ingin lari dari segala himpitan hidup lewat seni,” kata pengamat budaya Jawa di Sumatera dari Universitas Sumatera Utara, Subanindyo Hadiluwih.
Kuli kontrak Jawa yang berasal dari sejumlah daerah, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat, itu lantas mencoba menghidupkan hiburan yang biasa mereka nikmati di kampung halaman. Mereka ingin dapat bergembira dan tertawa seperti saat menonton ketoprak Mataram. Tentu tidak mudah menampilkan kesenian yang memadukan gerak tari, nyanyian, dialog, cerita, dan musik itu.
Mereka lantas menggunakan alat musik yang ada sebagai bentuk adaptasi mereka di luar lingkungan asli ketoprak. Alat musik seperti akordion atau harmonium yang khas Melayu itu mereka mainkan ketika tak bisa mencipta gamelan. Belakangan juga masuk alat musik keyboard, drum, dan bas elektrik.
Ketika melihat orang-orang Belanda pindahan dari Batavia memainkan tanjidor, seniman ketoprak dor juga memasukkan alat tiup dan perkusi sebagai pengiring. Ditambah dengan balok kayu yang dilubangi mirip kentongan, yang ditempel di atas tanjidor, pemain musik menghasilkan bunyi ”prak” dan ”dor”. Maka, tonil atau teater rakyat ini dikenal sebagai ketoprak dor.
Mereka juga kesulitan menemukan pakaian yang biasa digunakan dalam pentas ketoprak di tanah Jawa karena harganya terlampau mahal. Pakaian itu hanya dimiliki para priyayi Jawa di tanah Deli. ”Ayah saya akhirnya menggunakan pakaian yang bisa dibeli dan ada di sekeliling,” ujar Suriat yang bermain ketoprak karena pengaruh Badi, mendiang ayahnya. Badi adalah salah satu motor kelompok ketoprak dor sebelum digantikan Suriat.
Pakaian yang mereka gunakan terpengaruh Melayu, seperti penggunaan kain ikatan atau songket. Ada pula pengaruh gaya Timur Tengah dan India dengan munculnya kain sutra penuh pernak-pernik. Ada lagi pakaian mirip pembesar kerajaan Belanda dan Portugis. ”Itu bagian dari cara mereka merespons lingkungan yang beragam,” kata Subanindyo.
Ditinggalkan
Panji Suroso dalam buku Ketoprak Dor di Helvetia (2012) merangkum pengaruh Tiongkok dalam lakon ketoprak dor Sampek Engtay atau Timur Tengah dalam cerita Seribu Satu Malam. Gerakan tari pun lebih rancak dan rapat seperti tarian Melayu.
Pada pementasan di Medan malam itu, pemain ketoprak dor mencoba berbahasa Jawa. Sesekali terdengar seperti dialek jawa timuran yang kerap menggunakan sapaan rek dari kata arek. Akan tetapi, keluar juga kata rika yang berarti ’kamu’ dalam dialek banyumasan. Ada pula campur aduk bahasa Jawa dan Indonesia. Itulah bahasa sehari-hari mereka yang hidup di Medan dan sekitarnya sekarang.
Selepas Indonesia merdeka, ketoprak dor makin jaya dan terbentuk kelompok-kelompok di perkampungan Jawa di sekitar Medan, bahkan sampai Pematang Siantar. Jumlahnya puluhan. Warga biasanya menanggap ketoprak dor untuk acara pernikahan, sunatan, dan peringatan hari besar.
Tahun 1990-an, tersisa 10 kelompok ketoprak dor dan kini tinggal dua kelompok. Itu pun sudah jarang manggung. Sebuah ”artefak budaya”, kesenian rakyat, yang hampir ditinggalkan....
Pantang Menyerah
Para pelaku seni tradisi ketoprak tak berpretensi memperkaya diri dalam berkesenian. Mereka bertahan hidup dengan bekerja apa saja agar dapat mempertahankan hidup ketoprak dor.
Suwarsono alias Aseng (53) menata batu bata merah di calon kompleks perumahan sederhana di Desa Sei Mencirim, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Hari itu, Senin (9/11), Aseng hanya bekerja setengah hari karena sebagian material bangunan belum datang. Itu berarti upahnya hanya setengah dari semestinya, yakni Rp 80.000 per hari. Dengan upah itulah dia menghidupi keluarganya.
Sayangnya, tidak setiap hari dia dapat kerja. ”Namanya mocok-mocok (serabutan), ya sering nganggur juga. Rezeki harimaulah, kadang ada kadang tidak,” kata Aseng, ayah dari tiga anak ini. Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Aseng dibantu istrinya, Rasiani (44), bekerja sebagai buruh tani.
Aseng hari itu memaksa bekerja lantaran sempat libur setelah manggung hampir semalam suntuk dalam pentas ketoprak dor di Medan. Oleh karena masih lelah, dia memanfaatkan sore hari itu untuk bersantai bersama rekan-rekannya sesama anggota kelompok ketoprak dor, Langen Setyo Budi Lestari. Sore itu, Aseng bercengkerama dengan Jumadi (63), pemimpin kelompok ketoprak dor, dan Parman (63), pemain drum pada musik pengiring ketoprak dor.
Jumadi sejatinya tidak lowong-lowong amat sore itu karena dia harus menunggui bengkelnya. Bengkel kecil di depan rumahnya itu merupakan sumber penghasilan utama selain warung sayur yang didirikan istrinya, Kasmi (63). Jumadi melayani segala macam keluhan tentang sepeda motor, mulai kerusakan mesin hingga tambal ban. ”Sepeda onthel juga saya bisa perbaiki. Pokoknya segala macam sepeda-lah,” kata ayah empat anak ini.
Jumadi terampil memperbaiki sepeda setelah belajar dari pamannya. Dia memutuskan mendirikan bengkel sekitar 35 tahun lalu karena menyadari sebagai pemain ketoprak tidak mungkin menggantungkan kebutuhan sehari-hari dari panggung. Upah manggung semalam suntuk Sabtu malam lalu rata-rata pemain hanya mendapatkan Rp 100.000. Itu termasuk lumayan karena biasanya hanya setengah dari upah itu. Namun, belum tentu dalam sepekan sekali ketoprak dor manggung.
Bahkan, pernah Jumadi dan Aseng harus berjalan kaki menyusuri jalan sepanjang 9 kilometer lantaran sehabis main tak dibayar penanggap. Padahal, sejak dari rumah mereka tidak membawa uang cukup untuk naik angkutan kota. ”Awalnya saya mengira Kang Jumadi sudah dibayar. Rupanya Kang Jumadi mengira saya yang menerima. Padahal, kami sama- sama belum dibayar. Sementara rombongan lain sudah pulang ke rumah masing-masing. Terpaksa jalan kaki,” kata Aseng.
Kelompok ketoprak dor yang dipimpin Jumadi termasuk laris. Setidaknya dalam dua bulan mereka manggung dua sampai tiga kali. Bandingkan dengan kelompok ketoprak Langen Margi Agawe Rukun Santoso yang dipimpin Suriat (65). Sudah setahun lebih kelompok ketopraknya tak manggung. Sempat ditawari manggung oleh sebuah kepanitiaan perayaan HUT RI tahun lalu, tetapi batal tanpa alasan jelas. ”Regenerasi penonton ketoprak dor ini tidak ada. Terlalu banyak hiburan di televisi dan kibor (organ tunggal),” kata Suriat.
Suriat sendiri bertahan hidup dengan bekerja sebagai buruh pada pabrik cat tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan. Anggota ketoprak lainnya bekerja sebagai kuli bangunan, dukun beranak, penjual kue keliling, dan tukang cuci baju.
Bertahan
Sejak awal, para pemain ketoprak tidak berpretensi mencari hidup di atas panggung. Dorongan mementaskan lakon-lakon ketoprak dor lebih pada upaya menghibur diri dan, tentu saja, menghibur penonton. ”Tiap hari pencet-pencet kenthol (betis) orang ya bosan juga. Pas manggung begini kan bisa joget, nyanyi, teriak-teriak ha-ha-ha. Jadi happy, senang,” kata Waris (61).
Waris yang tinggal di daerah Bulu Cina, Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, ini sehari-hari bekerja sebagai tukang pijat bagi warga yang baru melahirkan. Juga pijat untuk para bayi. Dalam sepekan, tiga sampai lima warga dia pijat. Kadang mereka datang ke rumah Waris, tetapi lebih sering Waris yang mendatangi mereka. Bayarannya pun seikhlasnya dan tak selalu berupa uang. Keahlian memijat dia dapat dari neneknya, Ponyen, yang pindah ke Tanah Deli dari Jawa mengikuti suaminya.
Di samping memijat, sejak muda, sekitar tahun 1970, Waris senang sekali menonton ketoprak dor di daerah Bulu Cina tak jauh dari perkebunan tembakau Helvetia. Dia kerap ikut teriak-teriak ketika sinden menyanyi. Juga ikut terbahak ketika adegan lawak di sela-sela lakon ketoprak. ”Karena sering melihat ketoprak dor, hampir tiap minggu, saya tertarik ikut main. Sampai sekarang,” kata Waris.
Waris dibesarkan oleh lingkungan untuk menjadi seniman. Dia menghafal lakon dan tembang-tembang juga dari hasil menonton ketoprak dor. Dia biasanya memerankan tokoh ibu atau obyek penderita dalam lawakan ketoprak.
Jumadi tak memiliki keturunan darah seni. Tumbuh di daerah Sei Mencirim tak jauh dari Perkebunan Tembakau. Daerah yang sempat bernama Purwojati dihuni orang-orang Jawa perantauan. Di sana tumbuh kembang seni tradisi Jawa yang sudah mengalami percampuran dengan berbagai budaya dan seni Tanah Deli, termasuk ketoprak dor.
Agak berbeda dengan Aseng yang terpengaruh ayahnya dalam bermain ketoprak. Darah seni itu yang membuatnya tertarik berkesenian. Jumadi dan Aseng menjadi sahabat dekat dan merintis Langen Setyo Budi Lestari, kelompok ketoprak dor yang masih eksis di Sei Mencirim. Beberapa tetangga ikut bergabung, salah satunya Parman (63), mantan pekerja perkebunan yang mahir memainkan bas dan drum. Dia banyak belajar dari pamannya.
Jumadi terkenal kreatif mencipta lakon ketoprak dor. Lakon yang banyak diingat warga antara lain Joko Bodo, Anak Durhaka, Ibu Tiri, dan Paman Berdosa. Lakon-lakon itu dia ciptakan berdasarkan lagu atau dongeng seperti Malin Kundang. ”Kadang saya menonton TV terus kepikiran membuat lakon. Ya gitu saja,” ujarnya.
Jumadi berharap kelak ada yang meneruskan kelompok ketopraknya. Dia senang ketika salah satu anaknya, Hartono (37), aktif berketoprak di samping bekerja sebagai sopir mobil operasional Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU).
Miris
Para pemain ketoprak miris dengan makin sepinya penanggap ketoprak dor. Namun, mereka bersyukur dipertemukan dengan Yono (40), akademisi dari USU, Medan. Yono yang memiliki perhatian khusus pada kesenian Jawa di Tanah Deli itu membantu pelaku seni tradisi bertahan dengan mencari penanggap. Malam tahun baru nanti, ketoprak dor akan main di halaman Masjid Raya Medan. ”Biaya operasional sudah ada, tinggal mencari uang untuk uang saku pemain,” kata Yono yang melakukan semua itu secara pro bono.
Para pemain ketoprak dor yang kesulitan bertahan hidup itu tidak akan pernah menyerah mempertahankan hidup ketoprak dor. ”Kalau bukan kami para keturunan orang Jawa ini yang melestarikan, terus siapa lagi. Selama kami bisa bergembira, ya kami naik panggung,” kata Jumadi.
@pesonaid_travel @kemenpar
#FotoCerita10DestinasiBranding
#Lomba10FotoCeritaDestinasiBranding
#Pesona10DestinasiBranding
#PesonaIndonesia #WonderfulIndonesia