Bagi ibu-ibu atau perempuan di Desa Paciran, nguplik rajungan tak hanya pengisi waktu senggang. Tapi sudah menjadi pekerjaan sampingan yang menguntungkan. Selain itu, tentu bisa berkumpul dan bercengkrama dengan saudara, tetangga, dan teman semakin mempererat keguyuban di antara warga.
Oleh : Amir Baihaqi
KABAR PACIRAN – SUARA tangis bayi tiba-tiba terdengar dari dalam rumah. Sekonyong-konyong dari badukan (teras) rumah, Heni langsung menyingkirkan wadah tampah plastik yang berisi daging rajungan. Perempuan 32 tahun itu kemudian menggendong bayi yang tak lain putri semata wayangnya. Beberapa saat setelah digendong, si bayi tertidur pulas lagi. Heni pun kembali ke badukan rumah melanjutkan nguplik rajungan atau memilah dan memisah daging-daging rajungan dari kulitnya.
Begitulah dua kegiatan sehari-hari Heni setelah melahirkan. Selain nguplik rajungan, ia juga harus ngemong bayinya ketika ngelilir (terbangun). Ia harus siap sedia menggendong dan menyusui. Jika sudah tenang ditaruh lagi bayinya dan dilanjutkan pekerjaannya. “Nguplik’e biasae 2 jam. Tapi mugo ono ‘sponsor’ momong Sik Beng (putrinya), dadi sekitar 3 jam saiki,” katanya kepada Kabar Paciran.
Nguplik rajungan umumnya dimulai sekitar pukul 10.00 sampai 11.00 tergantung datangnya si nelayan yang mempunyai rajungan dari melaut. Setelah nelayan datang, rajungan akan dibawa pulang ke rumah. Dan jika sudah selesai, daging-daging itu disetorkan ke nelayan pemilik rajungan. “Biasa’e nguplik rajungane Kang Pul. Terus tak uplik mbarek Mbak Ifa,” lanjutnya.
Menurutnya, nguplik sudah menjadi pekerjaan sampingan yang menguntungkan bagi ibu-ibu dan perempuan di Paciran. Itu kenapa banyak yang ingin melakukannya. Sehari saja tidak nguplik, rasanya ada yang kurang. “Hasile rakaka’e lumayan. Apan gak nguplik iku podo ngeweh dewe-dewe,” bebernya sambil berkelakar.
Ia mencontohkan, saat musim baratan yang lalu. Ibu-ibu yang nguplik di rumah hanya bisa mengumpulkan sekitar 5 kilo saja. Berbeda saat sedang ramai rajungan, dirinya bisa nguplik sampai sekitar 10 sampai 14 kilo. “Ada malah yang sampai 20 kilo dalam sehari,” lanjut perempuan yang lahir tanggal 25 Oktober itu.
Selanjutnya, masih menurut Heni, daging rajungan yang sudah diuplik kemudian disetorkan ke nelayan pemilik rajungan. Dari nelayan kemudian dijual ke daukeh (pengepul). Untuk sekilonya daging dihargai sekitar Rp 250 ribu. Dengan catatan si nelayan tidak punya hutang ke daukeh. Sedangkan jika punya hutang akan dipotong, sehingga sekilonya jadi Rp 230 ribu.
Namun, harga di atas tidak menjadi patokan tetap. Karena sewaktu-waktu bisa berubah. Tergantung stok rajungan di pasar atau yang didapat nelayan. “Biasae kan wong miyang utang gawe perbekalan nek daukeh. Dadi pas adol rajungan kenek potong rego,” ungkapnya.
Setelah daging dijual ke daukeh. Dari situ kemudian, si nelayan atau juragan membagi hasil (andom bati) dengan ibu-ibu penguplik rajungan. Rata-rata mereka akan mendapatkan bagian sekitar Rp 35 ribu untuk 2 jam pekerjaannya. Hal itu berbeda dengan ibu-ibu yang nguplik di gudang daukeh. Karena sistem bayaran yang digunakan bukan harian tapi mingguan.
Lalu enak mana nguplik ikut daukeh atau sendiri di rumah? Heni membeberkan, sama-sama ada enak dan tidak enaknya. Di gudang, enaknya hampir dipastikan selalu ada rajungan setiap hari. Meski begitu, durasi waktu juga lebih lama. Bahkan bisa seharian nguplik. Tapi jika ikut nelayan yang punya rajungan, bisa dikerjakan santai bahkan bisa dikerjakan di rumah sendiri. Namun tidak enaknya tidak setiap saat ada rajungan yang diuplik. “Nek gudang rajungan bendino dikirim ono bae. Dadi rakakae pegel. Bokong yo isok kimput. Tapi ndek omah gak mesti onok,” tegasnya.
Dari pengepul atau daukeh setempat, kemudian daging-daging rajungan itu dikirim dan jual lagi ke gudang supliyer. Menurut kabar, daging-daging tersebut dikirim sampai ke luar negeri untuk diolah lagi menjadi berbagai makanan seperti sarden dan sebagainya. “Jare yo digowo nek Cino mbek Amerika,” pungkasnya.(*)
Foto : Heni NH