Nama : Lilik Khusniah
Asal sekolah : SMA M 6 PONDOK PESANTREN KARANGASEM Paciran - LamonganCinta kepada lawan jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah, keberlangsungan hidup manusia biasa terjaga. Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, bagaimanakah cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar’i? fenomena itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta ala mereka biasa disebut dengan pacaran.
Ajaran islam memerintahkan untuk menundukkan pandangan, memerintahkan kepada wanita untuk menutup auratnya, melarang mendekati zina, berduaan dengan lawan jenis, jabat tangan dengan lawan jenis. Jadi, mustahil ada pacaran islami, pacaran mempengaruhi kecintaan pada Allah, pacaran terbaik adalah setelah menikah. Jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada perbuatan-perbuatan yang dilarang diatas. Kita dapat melihat bahwa bentuk pacaran biasa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata, lalu mengendap dihati, kemudian timbul hasrat untuk jalan berdua, lalu berani berdua-duaan di tempat yang sepi, setelah itu bersentuhan dengan pasangan, lalu dilanjutkan denga ciuman. Akhirnya, sebagai pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. Naudzu billahi min dzalik. Lalu pintu mana lagi yang paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan melebihi pintu pacaran? Mungkinkah ada pacaran islami? Sungguh, pacaran yang dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ‘pacaran islami’ tidak mungkin biasa terhindar dari larangan-larangan diatas. Renungkanlah!
Banyak kalangan muda muslimin seperti halnya di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan yang masih berpandangan bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat “ Mandi boleh, asal janagn basah”. Ungkapan yang hakikatnya tidak terwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam islam. Kecuali kalau sekedar melakukan ta’aruf, melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya. Namun itu sungguh merupakan parancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong (terlanjur) dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, bonceng-boncengan, dua-duaan, saling berkirim surat atau SMS (mengandung nafsu), dan berbagai hal lainnya, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal yang haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan juga telapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu biasa dikategorikan sebagai “mencintai karena Allah?” jawabannya jelas tidak!. Semua hal itu sangat mengurangi konsentrasi dan waktu belajar generasi muda baik pelajar, mahasiswa, maupun generasi muda lainnya yang sudah tidak bersekolah. Bila kemudian ada istilah di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, pacaran yang islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, menenggak minuman keras yang islami. Mungkin, karena minuman keras itu ditenggak di dalam masjid. Atau zina yang islami, judi yang islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian dilabeli nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlalu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
Dalam kaitan ini peran orangtua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Akan tetapi yang terjadi di Paciran malah sebaliknya. Sebagian besar orangtua malah bingung kalau anaknya tidak pacaran dikiranya anaknya tidak laku-laku. Orangtua malah membolehkan pacaran dengan dalih bahwa dia dulupun pacaran. Memang masalah ini sudah mengakar dari bibit sebelumnya, sungguh disayangkan itu terjadi didaerah pesantren seperti Paciran ini. Adalah suatu keteledoran jika orangtua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan yang bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orangtua kalau melihat anaknya sudah siap mental dan fisiknya menurut saya segera saja laksanakan untuk menikah-kannya.
Banyak sekali dampak yang ditimbulkan dari pacaran, diantaranya yaitu mudah terjerumus keperzinaan, melemahkan iman, malatih kemunafikan, menjadikan panjang angan-angan, menjadikan hidup boros, melemahkan daya kreatifitas, menyulitkan konsentrasi, dan menyebabkan terlambatnya studi. Banyak fakta yang menyebutkan bahwa menurunnya prosentase kelulusan para pelajar Paciran adalah akibat pacaran, mereka jarang belajar karena jalan-jalan terus dengan pacarnya, tidak pernah beli buku (karena uangnya habis untuk bersenang-senang), terjadi pertengkaran, hanya karena rebutan pacar. Itu semua adalah fakta yang sering kita dengar. Yah, itu fakta, sekali lagi, itu fakta.
Semua itu biasa diminimalisir dengan adanya kegiatan pondok bagi yang santri dan pelajar yang aktif dikegiatan-kegiatan sekolah. Akan tetapi, pelajar yang tidak aktif di bidang apapun dan generasi muda yang tidak bersekolah tidak mempunyai kegiatan lain, waktu luang mereka lebih banyak. Karena itu, untuk mengisinya malah dengan hal-hal yang tidak bermanfaat seperti nongkrong-nongkrong di warung kopi, wara-wiri tanpa tujuan bahkan bertengger-tengger ditepi pantai penanjan pada saat hari menjelang sore dan malam. Entah apa yang dilakukan disana.
Menurut saya, itu merupakan pemandangan yang sangat tidak layak dilihat, yang dimana muda-mudi banyak yang berdua-duaan, pegang-pegangan, cubit-cubitan, pandang-pandangan, raba-rabaan tanpa memperdulikan keadaan sekitar, tanpa ada rasa malu, meskipun diperhatikan oleh orang yang berlalu-lalang. Dan masih banyak contoh tempat lain yang sangat membuat saya miris melihat fenomena pacaran di Desa saya yang mayoritas pesantren ini.
Dampak yang sangat merugikan bagi generasi muda paciran yaitu mengurangi produktifitas. Jika tidak pacaran, seorang siswa tentunya biasa melakukan aktivitas lain yang lebih produktif, misalkan membuat karya seni, menulis artikel, cerpen, puisi, karya tulis, mengerjakan PR, mengikuti pengajian-pengajian, meramaikan masjid untuk sembahyang, atau yang lainnya. Bukan malah keluyuran (jalan-jalan tanpa ada kepentingan atau tanpa tujuan yang pasti). Bagi generasi muda lainnya biasa mengikuti kegiatan-kegiatan positif selain bekerja, memang sudah ada kegiatan seperti ISC, NA untuk para pemudi-pemudinya, ilmu bela diri bagi pemuda dan sebagian pemudinya, tapi jarang sekali yang ikut. Di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan sekarang sudah digalakkan GERAKAN SADAR LINGKUNGAN SEHAT DAN BEBAS SAMPAH, untuk membersihkan sampah-sampah dialiran air seperti lau, sungai (kali), selokan, gerakan ini juga membagikan tempat sampah kepada warga di lingkungan sekitar. Tapi belum begitu gencar, semua itu masih perlu kesadaran diri dan dukungan orang tua. Bahkan pemerintahan Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan (kepala desa) serta bawah-bawahannya seperti RT/RW harusnya lebih memperhatikan dan ikut berperan dengan mengadakan kegiatan positif lainnya yang menampung generasi muda supaya lebih inovatif dan produktif demi kemajuan desa Paciran.
Harapan saya sebagai warga Desa Paciran Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, ingin sekali melihat generasi-generasi muda Paciran sekarang yang memiliki nilai moral yang tinggi, dan kegiatan-kegiatan positif sehingga dapat memberikan dampak yang sangat baik bagi lingkungan sekitarnya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ‘ilman nafi’a wa rizqon thoyyiban wa ‘amalan mutaqobbalan. Karena cinta yang utama adalah kepada Allah, bukan disalurkan lewat pacaran.
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”, dari situlah saya sebagai generasi muda penerus yang berasal dari Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan hanya biasa mengingatkan. Sekian tentang fenomena di Desa saya, Paciran. Walaupun begitu singkat, tanpa ada yang dibuat-buat karena itu semua adalah kenyataan tentang Desa saya sendiri. Terimakasih. Wallahu a’lam bish-showab.