LAPANGAN LASAK. - Kabar Paciran
Baca artikel dan tutorial Android dan informasi gadget terbaik


 
   Penulis: Ainur Rohman


Sepakbola, hampir semua anak laki-laki pernah memainkannya. Tanpa terkecuali tua maupun muda, jenis olahraga yang satu ini memang sangat populer dikalangan penduduk kampung. Hampir semua kampung punya lapangan sepakbola, baik itu yang permanen maupun yang semi permanen.




Dahulu kami yang generasi 80an bila ingin bermain sepakbola harus mencari akal agar bisa bermain sepakbola, maklum saja kami tinggal di kampung yang padat penduduk, tanah lapang di kampung kami sangat terbatas. Sungguh beruntung kami terlahir di kampung pesisir utara laut Jawa. Di kampung kami terdapat satu lapangan dadakan, Meski tanpa rumput yang hijau dan cuma hamparan pasir Lasak dan berair asin, walaupun begitu tidak menyurutkan semangat total football didalam jiwa kami. Ukuran lapangan dadakan ini bisa sangat lebar dan besar, menyesuaikan dengan volume air laut yang sedang surut. Hal yang paling menyebalkan ketika menyadari ukuran lapangan yang lebar dan panjang bisa mendadak susut, karena air laut beranjak pasang.





Setiap sore kami bermain disitu. Tanpa ada komando atau selebaran pemberitahuan apalagi pesan singkat (sms). Satu-satunya indikasi kenapa bisa kompak datang adalah kebersamaan dalam bermain, jiwa kami terpanggil dari dalam. Selepas sholat ashar kami sudah berkumpul di lapangan. Lapangan itu beralaskan pasir Lasak, beberapa batu karang kecil dan berair. jadi jangan harap kalau jatuh atau salah nendang kaki kalian akan baik-baik saja. Kadang kami terluka sampai berdarah-darah Karena kami tak pakai sepatu, kami bermain dengan kaki telanjang. Teritorial lapangan dadakan itu sangat berharga bagi kami. Tempat bermain dan bersenang-senang. Meski sayang tidak setiap sore lapangan dadakan idaman kaki bocah lelaki macam kami dulu bisa muncul tiap hari, ketersediaan lapangan Lasak berkah faktor alam tersebut hanya ada pada musim-musim tertentu saja.





Karena kami di kampung, maka kami bermain dengan alat seadanya. Gawang kami terbuat dari gundukan pasir Lasak yang menggunung, dengan ukuran lebar gawang yang disepakati oleh kedua pihak. Biasanya kami bermain sepakbola dengan bola plastik, atau bola mikasa yang biasanya dipakai buat volly, kami membeli bola dengan cara kolektif (urunan). Atau kadang ada yang punya bola dan dibawa. Dalam permainan sepak bola kami tak mengenal wasit, Apalagi sampai mengakui hands ball itu pantangan, meski tidak pernah disepakati. Kami juga tidak pernah khawatir kena sanksi dari federasi induk sepak bola dunia FITA, eeeh salah FIFA.

Bila dalam sepakbola resmi ada istilah kesebelasan, dalam budaya sepakbola kami tidak mengenal batasan itu, pembatasan dalam sepakbola kami adalah mengingkari kesetaraan hak untuk bermain bersama. Semua berhak untuk bermain karena itu tidak ada pemain cadangan. Jumlah dalam satu tim bisa lebih dari 20an anak. Ada yang unik dalam menentukan terjadinya sebuah goal.
Satu-satunya syarat goal paling efektif dalam permainan sepak bola kami adalah goal bola dasar, jika tendangan bola ke gawang mengarah ke kiri atau ke kanan apalagi ke atas jangan harap dapat pengakuan goal dari pihak lawan. Contoh si penjaga gawang itu agak pendek, dan ada tendangan mengarah kepadanya namun ia tak mampu menggapai bola atas maka tak jadi goal. Hal itu karena tidak ada tiang gawang.

Durasi bermain bola kami tidak tentu, namun satu yang pasti sebagai isyarat berhentinya permainan adalah suara adzan magrhib, Jikalau bola sepak dari plastik pecah karena terjadi "abrakan" dan tidak ada pengganti bola lagi, dengan sangat terpaksa kita akan berhenti bermain. Sudah tentu akan banyak suara yang menggerutu. Jika sudah seperti itu biasanya beberapa dari kami tak langsung pulang, untuk mengganti kekecewaan kami mencari Kerang, Kukukbeluk, dan Tatagan disela-sela batu karang, atau mencari ikan ilat, dengan cara menginjak-injak pasir Lasak tempat ikan ilat bersembunyi didalam pasir.

Hampir setiap air laut surut di sore hari kami bisa bermain, Dan kini saat saya mendapat kiriman gambar foto ini kenangan itu kembali terkenang, melihat jauh kebelakang. Teringat akan pasar Plawangan.

Foto : Google

LAPANGAN LASAK.



 
   Penulis: Ainur Rohman


Sepakbola, hampir semua anak laki-laki pernah memainkannya. Tanpa terkecuali tua maupun muda, jenis olahraga yang satu ini memang sangat populer dikalangan penduduk kampung. Hampir semua kampung punya lapangan sepakbola, baik itu yang permanen maupun yang semi permanen.




Dahulu kami yang generasi 80an bila ingin bermain sepakbola harus mencari akal agar bisa bermain sepakbola, maklum saja kami tinggal di kampung yang padat penduduk, tanah lapang di kampung kami sangat terbatas. Sungguh beruntung kami terlahir di kampung pesisir utara laut Jawa. Di kampung kami terdapat satu lapangan dadakan, Meski tanpa rumput yang hijau dan cuma hamparan pasir Lasak dan berair asin, walaupun begitu tidak menyurutkan semangat total football didalam jiwa kami. Ukuran lapangan dadakan ini bisa sangat lebar dan besar, menyesuaikan dengan volume air laut yang sedang surut. Hal yang paling menyebalkan ketika menyadari ukuran lapangan yang lebar dan panjang bisa mendadak susut, karena air laut beranjak pasang.





Setiap sore kami bermain disitu. Tanpa ada komando atau selebaran pemberitahuan apalagi pesan singkat (sms). Satu-satunya indikasi kenapa bisa kompak datang adalah kebersamaan dalam bermain, jiwa kami terpanggil dari dalam. Selepas sholat ashar kami sudah berkumpul di lapangan. Lapangan itu beralaskan pasir Lasak, beberapa batu karang kecil dan berair. jadi jangan harap kalau jatuh atau salah nendang kaki kalian akan baik-baik saja. Kadang kami terluka sampai berdarah-darah Karena kami tak pakai sepatu, kami bermain dengan kaki telanjang. Teritorial lapangan dadakan itu sangat berharga bagi kami. Tempat bermain dan bersenang-senang. Meski sayang tidak setiap sore lapangan dadakan idaman kaki bocah lelaki macam kami dulu bisa muncul tiap hari, ketersediaan lapangan Lasak berkah faktor alam tersebut hanya ada pada musim-musim tertentu saja.





Karena kami di kampung, maka kami bermain dengan alat seadanya. Gawang kami terbuat dari gundukan pasir Lasak yang menggunung, dengan ukuran lebar gawang yang disepakati oleh kedua pihak. Biasanya kami bermain sepakbola dengan bola plastik, atau bola mikasa yang biasanya dipakai buat volly, kami membeli bola dengan cara kolektif (urunan). Atau kadang ada yang punya bola dan dibawa. Dalam permainan sepak bola kami tak mengenal wasit, Apalagi sampai mengakui hands ball itu pantangan, meski tidak pernah disepakati. Kami juga tidak pernah khawatir kena sanksi dari federasi induk sepak bola dunia FITA, eeeh salah FIFA.

Bila dalam sepakbola resmi ada istilah kesebelasan, dalam budaya sepakbola kami tidak mengenal batasan itu, pembatasan dalam sepakbola kami adalah mengingkari kesetaraan hak untuk bermain bersama. Semua berhak untuk bermain karena itu tidak ada pemain cadangan. Jumlah dalam satu tim bisa lebih dari 20an anak. Ada yang unik dalam menentukan terjadinya sebuah goal.
Satu-satunya syarat goal paling efektif dalam permainan sepak bola kami adalah goal bola dasar, jika tendangan bola ke gawang mengarah ke kiri atau ke kanan apalagi ke atas jangan harap dapat pengakuan goal dari pihak lawan. Contoh si penjaga gawang itu agak pendek, dan ada tendangan mengarah kepadanya namun ia tak mampu menggapai bola atas maka tak jadi goal. Hal itu karena tidak ada tiang gawang.

Durasi bermain bola kami tidak tentu, namun satu yang pasti sebagai isyarat berhentinya permainan adalah suara adzan magrhib, Jikalau bola sepak dari plastik pecah karena terjadi "abrakan" dan tidak ada pengganti bola lagi, dengan sangat terpaksa kita akan berhenti bermain. Sudah tentu akan banyak suara yang menggerutu. Jika sudah seperti itu biasanya beberapa dari kami tak langsung pulang, untuk mengganti kekecewaan kami mencari Kerang, Kukukbeluk, dan Tatagan disela-sela batu karang, atau mencari ikan ilat, dengan cara menginjak-injak pasir Lasak tempat ikan ilat bersembunyi didalam pasir.

Hampir setiap air laut surut di sore hari kami bisa bermain, Dan kini saat saya mendapat kiriman gambar foto ini kenangan itu kembali terkenang, melihat jauh kebelakang. Teringat akan pasar Plawangan.

Foto : Google
Load Comments

Subscribe Our Newsletter